Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dari dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kamu beriman (beribadah) kepada Allah semata…” (QS. Al Mumtahanah : 4)
Di dalam ayat ini Allah menyanjung sikap Nabi Ibrahim ‘alaihis salam beserta orang-orang yang beriman yang dengan tegas berkata kepada kaumnya [yang kafir], “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah” kemudian beliau pun mempertegas permusuhan dan kebencian yang ada antara beliau dengan mereka [orang-orang kafir], “kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian” yaitu kebencian hati, tidak menaruh rasa sayang, serta permusuhan fisik. Permusuhan dan kebencian ini tidak ada batas waktunya selama mereka masih bersikukuh di atas kekafiran, kecuali jika mereka telah beriman kepada Allah saja. Karena apabila mereka telah beriman kepada Allah maka permusuhan akan berubah menjadi kasih sayang, kebencian akan berubah menjadi kesetiaan (lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 856)
Tidak boleh memeriahkan hari raya orang kafir
Syaikh Dr. Shalih Al Fauzan hafizhahullah menerangkan bahwa salah satu konsekuensi kebencian dan permusuhan seorang muslim terhadap orang-orang kafir adalah dengan cara menghindari dan menjauhi syi’ar-syi’ar dan berbagai upacara keagamaan mereka, sedangkan syi’ar mereka yang terbesar diantaranya adalah perayaan-perayaan mereka di hari dan tempat tertentu, maka kewajiban umat Islam adalah menghindarkan diri dan menjauhinya.
Suatu saat ada seorang lelaki yang datang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka meminta fatwa tentang nadzarnya untuk menyembelih seekor unta di Buwanah (sebuah nama tempat). Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah di sana dulu terdapat berhala kaum jahiliyah yang disembah?” Ia menjawab, “Tidak ada” Lalu Nabi bertanya, “Apakah di sana pernah diadakan perayaan salah satu hari raya mereka (kaum jahiliyah)?” Ia menjawab, “Tidak”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tunaikanlah nadzarmu, karena sesungguhnya nadzar dalam bermaksiat kepada Allah tidak boleh ditunaikan, begitu pula nadzar dengan sesuatu yang tidak dikuasai anak Adam” (HR. Abu Dawud, dengan sanad yang memenuhi kriteria Bukhari dan Muslim).
Hadits ini menunjukkan tidak bolehnya menyembelih di tempat yang pernah digunakan untuk menyembelih untuk selain Allah atau di tempat yang dipakai berkumpul orang kafir untuk merayakan hari raya mereka karena dalam tindakan ini terkandung makna kerjasama dengan mereka serta turut berpartisipasi membesarkan syi’ar-syi’ar mereka dan ia merupakan tasyabbuh (peniruan) terhadap mereka, dan juga karena ia menjadi sarana menuju kesyirikan. Begitu pula apabila bergabung dengan mereka dalam hari perayaan mereka, itu juga terlarang karena di dalamnya terkandung sikap kerjasama dalam menghidupkan syi’ar-syi’ar mereka dan merupakan bentuk tasyabbuh kepada mereka. Termasuk yang dilarang juga ialah sengaja menampakkan kegembiraan di saat hari raya mereka, meliburkan pekerjaan, serta memasak masakan spesial untuk turut memeriahkannya dan lain sebagainya. Dan termasuk itu juga memakai penanggalan/kalender miladi (masehi) karena hal itu akan menghidupkan ingatan tentang hari raya masehi mereka, oleh karena itulah para sahabat memakai kalender hijriyah sebagai penggantinya (lihat Kitab At Tauhid li shaffil awwal al ‘aali, hal. 102)
Ikut serta dalam kegembiraan orang-orang kafir, turut berduka cita, dan mengucapkan selamat hari raya untuk mereka
Syaikh Dr. Shalih Al Fauzan hafizhahullah menerangkan bahwa tidak diperbolehkan memberikan bentuk ucapan selamat kepada mereka, begitu pula bertakziyah (ikut berduka cita dan menghibur keluarganya). Alasannya adalah karena dengan melakukan hal itu akan memunculkan kesetiaan dan rasa cinta kepada mereka. Dan juga, karena di dalamnya tersurat sikap menghormati dan membesarkan mereka; oleh sebab itulah perbuatan ini diharamkan berdasarkan alasan-alasan tersebut. Hal ini sebagaimana diharamkannya mengawali mengucapkan salam kepada mereka dan sengaja melapangkan jalan untuk mereka.
Kemudian, Syaikh Al-Fauzan menyebutkan perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah, di antaranya beliau mengatakan bahwa perbuatan menyampaikan ucapan selamat kepada orang kafir di hari raya mereka adalah haram, hal itu diibaratkan sebagaimana seseorang yang mengucapkan selamat kepada orang yang bersujud kepada salib. Bahkan kata beliau, ucapan selamat semacam itu lebih besar dosanya daripada ucapan selamat kepada peminum khamr, pembunuh, atau pelacur. Barangsiapa yang mengucapkan selamat kepada seseorang atas tindakan maksiat, bid’ah atau kekufurannya maka sesungguhnya dia telah menantang murka Allah. Sikap inilah yang dipilih oleh para ulama, menjauhi murka Allah dengan cara tidak memuji atau mengangkat orang-orang zhalim dan bodoh untuk menempati posisi kepemimpinan atau peradilan. Itu semua mereka lakukan karena takut dan khawatir akan murka Allah dan jatuhnya harga diri mereka di hadapan-Nya (Demikian kata Ibnul Qayyim).
Kemudian, Syaikh Al-Fauzan berkata, “Dari penjelasan ini kami mengambil kesimpulan bahwasanya hukum memberikan ucapan selamat kepada orang-orang kafir dengan sarana mubah adalah sesuatu yang terlarang, apabila itu mengandung ungkapan-ungkapan yang menunjukkan keridhaan terhadap agama mereka. Adapun menyampaikan ucapan selamat dengan syi’ar-syi’ar mereka (bukan dengan sarana mubah), seperti dengan turut memeriahkan hari raya mereka maka ini jelas haram hukumnya, dan sangat dikhawatirkan orang yang melakukannya terjatuh dalam kekafiran” (lihat Kitab At Tauhid li shaffil awwal al ‘aali, hal. 103)
Meminta bantuan kepada orang kafir dalam hal pekerjaan
Syaikh Dr. Shalih Al Fauzan hafizhahullah menerangkan bahwa tidak diperbolehkan mempekerjakan orang kafir untuk menempati posisi pemimpin bagi umat Islam, atau posisi yang memungkinkan baginya untuk mengawasi dan memata-matai rahasia kaum muslimin, seperti dengan menjadikan mereka sebagai menteri dan dewan penasihat. Atau juga menjadikan mereka sebagai petugas/pegawai pelaksana bagi struktur daulah (pemerintahan) Islam. Diperbolehkan mempekerjakan mereka untuk mengurusi sebagian urusan sampingan yang tidak akan mengundang bahaya bagi kestabilan politik pemerintahan Islam, seperti menjadikan mereka sekedar sebagai penunjuk jalan dan pekerjaan yang seperti itu; semacam untuk membangun bangunan, memperbaiki jalan, hal ini dengan persyaratan selama memang tidak ada di antara kaum muslimin orang yang sanggup menangani pekerjaan ini. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar juga pernah mempekerjakan seorang lelaki dari suku Diil sebagai penunjuk rute perjalanan tatkala sedang menempuh hijrah menuju Madinah, padahal dia adalah seorang yang musyrik (HR. Bukhari) (lihat Kitab At Tauhid li shaffil awwal al ‘aali, hal. 105)
Meminta bantuan kepada orang kafir demi memenangkan pertempuran
Syaikh Dr. Shalih Al Fauzan hafizhahullah menerangkan bahwa dalam menanggapi masalah ini muncul perselisihan diantara para ulama, sedangkan pendapat yang benar ialah yang menyatakan dibolehkannya hal itu; yaitu ketika situasi benar-benar membutuhkan dan darurat ketika terjadinya jihad, dengan catatan selama orang yang dimintai bantuan dari kalangan mereka itu dapat dipercaya.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan seputar faidah yang bisa digali dari terjadinya perjanjian damai Hudaibiyah : “Diantara faidahnya yaitu diperbolehkannya meminta bantuan kepada orang musyrik dalam jihad jika ia orang yang bisa dipercaya (amanah) apabila hal itu memang (benar-benar) diperlukan, dan dengan cara itu terdapat maslahat lain yaitu kedekatannya dengan mereka sehingga dapat berbaur dengan mudah bersama musuh dan mencuri dengar berita-berita mereka” (Zaadul Ma’aad (3/301) tahqiq Syu’aib dan Abdul Qadir Al Arna’uth)
Tindakan itu boleh ditempuh dalam situasi darurat berdasarkan sebuah riwayat yang dibawa oleh Az Zuhri yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta bantuan kepada orang-orang Yahudi dalam perang Khaibar di tahun ke-7 hijriyah, begitu pula keberadaan Shafwan bin Umayah yang sudah ikut berperang (bersama kaum muslimin) dalam perang Hunain sementara ketika itu ia masih berstatus musyrik. Dan keadaan darurat itu misalnya; apabila jumlah tentara kafir jauh lebih banyak daripada jumlah tentara Islam dan nasib umat Islam amat dikhawatirkan, dengan syarat orang yang menentukan hal itu adalah orang-orang yang memiliki pertimbangan matang di kalangan kaum muslimin. Adapun jika tidak ada keperluan maka tidak boleh meminta bantuan kepada mereka, …” (lihat Kitab At Tauhid li shaffil awwal al ‘aali, hal. 105-106)
Bekerja kepada bos yang kafir dan tinggal di negeri orang kafir
Syaikh Dr. Shalih Al Fauzan hafizhahullah menerangkan bahwa seorang muslim yang rela mengabdikan dirinya demi kepentingan orang kafir merupakan perkara yang diharamkan, karena di dalamnya terjadi penguasaan orang kafir terhadap orang Islam dan termasuk bentuk penghinaan atas dirinya. Begitu pula, tinggal terus menerus di antara orang-orang kafir adalah haram, karena hal itu akan berdampak membahayakan akidah seorang muslim. Berdasarkan sebab inilah Allah mewajibkan berhijrah dari negeri kufur menuju negeri Islam, dan Allah memberikan ancaman keras kepada orang yang meninggalkan kewajiban ini tanpa alasan syar’I, dan seorang muslim juga diharamkan bersafar (bepergian) ke negeri kafir kecuali karena sebab yang dizinkan syari’at selama dia memiliki kemampuan untuk tetap menampakkan identitas agamanya dan apabila tujuannya sudah terpenuhi maka dia harus segera kembali ke negeri Islam.
Adapun, apabila seorang muslim bekerja untuk orang kafir dalam rangka mengurus pekerjaan selain untuk mengabdi (semata-mata) untuk kepentingan mereka seperti : menjahit pakaian mereka, membangunkan tembok, dan semacamnya yang termasuk kategori pekerjaan yang terikat oleh perjanjian/kontrak kerja, maka hal itu diperbolehkan karena tidak adanya unsur penghinaan diri, ini berdasarkan sebuah riwayat dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, beliau pernah mengatakan, “Aku pernah diupah untuk bekerja (menimbakan air) kepada seorang perempuan Yahudi, sekali timba diupah dengan sebiji kurma. Kemudian aku beritahukan hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan ketika itu aku menjumpai beliau dengan membawa beberapa biji kurma, maka beliau pun ikut memakannya bersamaku” (HR. Ahmad) Begitu juga kisah Khabbab yang bekerja untuk Al ‘Aash bin Waa’il di Mekkah dan ketika itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahuinya dan beliau tidak mengingkarinya (HR. Bukhari) Hal ini menunjukkan bolehnya kejadian semacam ini; karena pekerjaan tersebut sekedar akad tukar menukar jasa seperti halnya berjual beli, ia tidaklah mengandung unsur penghinaan diri seorang muslim dan memperbudaknya, dan hal ini juga tidak bertentangan dengan keharusan untuk berlepas diri dan membenci diri mereka dan agama mereka.
Adapun orang yang sengaja lebih memilih bekerja kepada orang kafir serta tinggal dekat dengan mereka daripada harus bekerja dan tinggal dekat dengan kaum muslimin, maka untuk orang seperti ini (ada perincian hukum). Jika dia berpandangan bolehnya berloyalitas kepada mereka serta merasa puas dan ridha dengan apa yang ada pada mereka [kekafiran] maka tidak ragu lagi bahwa ini merupakan tindakan murtad (mengeluarkan) dari agama Islam. Adapun apabila hal itu dilakukannya karena ketamakannya saja (terhadap urusan dunia) atau karena dia menginginkan kemewahan yang bisa didapatkan di negeri-negeri mereka sedangkan hatinya masih menyimpan kebencian terhadap agama mereka serta dia tetap memelihara ajaran agamanya maka hal ini diharamkan juga, dan sangat dikhawatirkan dia akan mengalami akibat yang buruk yaitu malah berbalik menjadi ridha dengan agama mereka… (At Tauhid li shaffil awwal al ‘aali, hal. 106-107)